Kasus Perambahan 210 Hektar Hutan Langkat: Tersangka Divonis 10 Tahun Namun Sawit Diduga Masih Dipanen

Kasus Perambahan 210 Hektar Hutan Langkat

LANGKAT – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng dan Kepala Desa Tapak Kuda, Imran. Keduanya terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa perambahan 210 hektare kawasan Hutan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut (SM KG-LTL).

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim M. Nazir dalam sidang, Senin (11/8/2025). Selain hukuman penjara, keduanya juga dijatuhi denda masing-masing Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan.

Hakim juga menetapkan Akuang wajib membayar uang pengganti sebesar Rp797,6 miliar, yang terdiri dari kerugian ekologis Rp436,63 miliar, kerugian ekonomi lingkungan Rp339,15 miliar, biaya pemulihan lingkungan Rp9,26 miliar, serta biaya revegetasi Rp2,11 miliar.

“Apabila uang pengganti tidak dibayar paling lama satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka jaksa dapat menyita serta melelang harta bendanya. Bila harta tidak mencukupi, diganti dengan pidana penjara selama lima tahun,” tegas hakim.

Namun, putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang meminta 15 tahun penjara dan uang pengganti Rp856,8 miliar. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Dr. Harli Siregar, menegaskan pihaknya telah resmi mengajukan banding.

“Hari ini kita sudah menyatakan banding,” ujar Harli melalui pesan tertulis, Kamis (21/8/2025).


❗ Polemik Pasca Putusan

Meski telah divonis, Akuang diketahui belum ditahan karena kasusnya masih dalam tahap banding. Bahkan, ia diduga masih menikmati hasil panen sawit dari lahan yang telah disita pengadilan.

Informasi yang beredar menyebutkan, hasil panen tandan buah segar (TBS) sawit dari perkebunan ilegal tersebut mencapai puluhan miliar rupiah sekali panen.

Kasi Intel Kejari Langkat, Ika Luis Nardo, menjelaskan lahan sitaan tersebut saat ini dititipkan ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara. “Pengawasan ada di BBKSDA. Karena masih tahap banding, maka terdakwa belum ditahan,” ujarnya, Selasa (26/8/2025).

Kasus ini bermula pada 2013 ketika Akuang meminta Kades Tapak Kuda, Imran, membuat surat keterangan tanah di kawasan konservasi tersebut. Lahan kemudian dimanipulasi hingga terbit dokumen kepemilikan palsu yang ditingkatkan menjadi sertifikat hak milik (SHM), meski statusnya merupakan kawasan hutan lindung yang tidak bisa dimiliki pribadi. (Tim//)

Tinggalkan Balasan

Tutup