BRI Banyuwangi Digugat Kreditur, Kuasa Hukum Sebut Kebijakan NAS Menyalahi Aturan
Banyuwangi – Kasus gugatan pasangan suami istri terhadap Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Banyuwangi terus menjadi perhatian publik. Persidangan yang menyoal dugaan kerugian akibat penerapan kebijakan yang disebut “NAS” kini memasuki babak baru.
Pihak BRI sebelumnya telah memberikan klarifikasi resmi melalui kantor cabang Malang dalam bentuk pernyataan tertulis yang dimuat di sejumlah media online. Namun, penjelasan tersebut justru menuai kritik dari kuasa hukum penggugat.
Roedi Hariyadi, SH., kuasa hukum pasutri tersebut, menilai klarifikasi BRI tidak menyentuh substansi persoalan. Menurutnya, alasan bahwa penyaluran kredit sudah sesuai prosedur tidak merujuk pada aturan otoritas resmi, baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bank Indonesia (BI).
“BRI adalah BUMN, artinya wajib tunduk pada ketentuan OJK dan BI. Sementara NAS ini murni kebijakan internal cabang Banyuwangi, bukan ketentuan regulator maupun kebijakan pusat. Dari sisi hukum, jelas keliru,” tegas Roedi.
Ia menambahkan, kebijakan yang tidak mengacu pada regulasi resmi seharusnya terlebih dahulu disosialisasikan kepada masyarakat. “Undang-undang saja wajib disosialisasikan meskipun ada asas fiksi hukum. Apalagi ini hanya kebijakan internal bank. Tanpa sosialisasi, jelas merugikan debitur,” imbuhnya.
Roedi juga menyoroti tujuan kebijakan perbankan yang semestinya melindungi hak masyarakat. Jika sebuah aturan justru merugikan debitur dan hanya menguntungkan satu pihak, maka kebijakan tersebut bisa dikategorikan melanggar hukum.
“Kalau kebijakan menguntungkan sepihak, bahkan merugikan debitur, itu bisa masuk ranah tindak pidana korupsi sesuai UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Tipikor. Bahkan bisa pula dikaitkan dengan pasal 372 dan 378 KUHP tentang penggelapan dan penipuan,” jelasnya.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa sejak awal perjanjian kredit pada 2022, kliennya tidak pernah diberitahu adanya kebijakan NAS. Debitur bahkan tidak memperoleh salinan perjanjian kredit, padahal kewajiban tersebut diatur jelas dalam Pasal 35 POJK No.35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.
“Aturannya, kreditur wajib menyerahkan salinan perjanjian maksimal tiga bulan sejak perjanjian dibuat. Kalau tidak diberikan, debitur tidak bisa serta-merta memintanya ke notaris. Ini jelas mengabaikan aturan OJK,” lanjut Roedi.
Kini, publik menanti putusan pengadilan, apakah penerapan kebijakan NAS oleh BRI Cabang Banyuwangi sesuai dengan hukum perbankan atau justru melanggar hak debitur.


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.